ViralHeadlineMost ReadTrending News

Memahami Poin Kontroversial RUU Penyiaran

RUU Penyiaran yang saat ini sedang diusulkan telah menjadi topik perbincangan yang sangat hangat dalam dunia media dan juga masyarakat secara luas. Dalam kurun waktu beberapa bulan terakhir ini, perdebatan mengenai isu-isu kunci yang terdapat dalam RUU ini telah mencuat ke permukaan, memicu ragam tanggapan dan respon yang beragam dari berbagai pihak yang berkepentingan.

RUU Penyiaran Membatasi Kebebasan Berekspresi

Salah satu alasan utama yang membuat RUU Penyiaran menjadi sorotan adalah beberapa poin kontroversial dalam RUU tersebut dapat membatasi kebebasan dalam bereskpresi. Hal ini terlihat melalui pasal 34f ayat (2) huruf e yang berbunyi, “mengatur penyelenggara platform digital penyiaran dan/atau platform teknologi penyiaran lain wajib memverifikasi konten siarannya ke KPI sesuai pedoman perilaku penyiaran (P3) dan Standar Isi Siaran (SIS). Penyelenggara penyiaran yang dimaksud termasuk kreator yang menyalurkan konten lewat YouTube, TikTok, atau media berbasis User Generated Content (UGC) lainnya.” Jika sebelumnya KPI hanya berada di ranah Televisi, maka dengan adanya RUU ini KPI juga akan mulai masuk ke dalam ranah media digital.

RUU Penyiaran Membatasi Kebebasan Pers dan Media

Pers dan media memiliki peran yang sangat penting dalam proses penyampaian informasi dan berita yang kredibel kepada masyarakat, dan proses ini dikendalikan langsung oleh dewan pers. Tanpa adanya pers dan media, masyarakat tidak akan dapat mengetahui berita eksklusif yang tengah terjadi. Namun, bagaimana nasib pers kedepannya jika di pasal 50b ayat (2) huruf c melarang penayangan eksklusif Jurnalistik Investigasi?

Baca juga artikel lain:MA Ubah Persyaratan Usia Cagub dan Cawagub, Bisa Mendaftar Sebelum Usia 30

Jurnalistik Investigasi memiliki peran yang sangat vital dalam proses pengungkapan berita eksklusif kepada masyarakat. Jurnalistik Investigasi hadir untuk memberikan informasi-informasi yang kurang dapat di akses oleh masyarakat umum.

RUU Penyiaran Membuat Pemerintah Menjadi Anti Kritik?

Pasal 50b ayat (2) huruf k, melarang penayangan isi siaran dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, kekerasan, dan radikalisme-terorisme.

Sementara itu, pasal 51E berbunyi, “sengketa yang timbul akibat dikeluarkannya keputusan KPI dapat diselesaikan malalui pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Ini menimbulkan pertanyaan, apakah RUU Penyiaran ini memiliki potensi untuk membuat pemerintah menjadi anti kritik?

Dalam konteks ini, penting untuk mempertimbangkan bagaimana RUU Penyiaran dapat mempengaruhi dinamika antara pemerintah, media, dan masyarakat. Secara teoritis, pemerintah harus dapat menerima dan merespon kritik dari masyarakat dan media. Namun, jika RUU Penyiaran ini diterapkan, ada kemungkinan bahwa pemerintah dapat menggunakan undang-undang ini sebagai alat untuk menekan kritik dan mengontrol narasi publik.

Exit mobile version